BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Belajar merupakan sebuah proses perubahan di dalam
kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan
kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan,
sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya fikir dan kemampuan-kemampuan
individu yang lainnya.
Dalam proses pembelajaran, suasana belajar sangat
berpengaruh dalam meningkatkan hasil belajar pada anak. Apabila pembelajaran
menyenangkan maka dapat menimbulkan minat dan motivasi siswa dalam mengikuti
kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini kemampuan guru dalam menyampaikan
suatu pembelajaran sangat berpengaruh terhadap minat siswa dalam kegitan
belajar. Apabila guru mampu membuat suasana kelas menjadi menyenangkan, maka
siswa dapat termotivasi untuk semangat dalam belajar dan pada akhirnya hasil
belajar pada siswa dapat meningkat. Dalam suasana pembelajaran yang sehat dapat
dibagi menjadi tiga suasana, yaitu suasana belajar kooperatif, suasana belajar
kompetitif, dan suasana belajar individualistik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Suasana Pembelajaran Kooperatif?
2. Bagaimana
Suasana Pembelajaran Kompetitif?
3. Bagaimana
Suasana Pembelajaran Individualistik?
C.
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Suasana Belajar Kooperatif.
2. Untuk
Mengetahui Suasana Belajar Kompetitif.
3. Untuk
Mengetahui Suasan Belajar Individualistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Suasana
Belajar Kooperatif
Masayarakat sudah lama mengenal semboyan bersatu
kita teguh bercerai kita runtuh. Semboyan tersebut telah memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap upaya pembebasan bangsa indonesia dari belenggu
penjajahan. Semboyan semacam itu juga telah memberikan semangat kerja sama yang
luar biasa dalam emmecahkan berbagai masalah kehidupan dunia pendidikan kita
juga sudah lama mengenal semboyan silih asah, silih asih, silih asuh. Semboyan
tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung tulodo yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara telah begitu melekat dihati bangsa indonesia.
Pendidikan yang menekankan pada interaksi
koopertatif adalah pendidikan yang secara bersungguh-sungguh berupaya
mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam dunia pendidikan. Dengan
demikian, pendidikan yang menekankan pada suasan belajar kooperatif pada
hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan back to basic, kembali
keakar budaya bangsa kita sendiri. Interaksi kooperatif menuntut semua anggota
dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat
melakukan dialog tidak hanya dengan guru tetapi juga sesama mereka.Dalaminteraksitersebut diharapkananak-anakdapat menjadi sumber belajar
bagi sesamanya. Interaksi semacam itu diperlukan karena anak-anak sering merasa
lebih mudah belajar dari sesama dari pada belajar dari guru. Interkasi tatap
muka memungkinkan tersedianya sumber belajar yang berfariasi tatap muka
memungkinkan tersedianya sumber belajar yang bervariasi yang dapat
mengoptimalkan pencapaian tujuan belajar, terutama bagi anak yang tergolong
berkesulitan belajar.
Pembelajaran kooperatif menampakan wujudnya dalam
belajar kelompok. Dalam kelompok belajar kooperatif, anak tidak diperkenankan
mendominasi atau menggantungkan diri pada anak lain. dalam kelompok belajar
kooperatif ditanamkan norma bahwa sikap mendominasi orang lain adalah sama
buruknya dengan sifat menggantungkan diri pada orang lain. dalam kelompok
belajar kooperatif, tiap anggota kelompok dituntut untuk memberikan urunan bagi
keberhasilan kelompok nilai hasil belajar kelompok ditentukan oleh rata-rata
nilai hasil belajar individual.
Dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial
seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide lain orang,
berani mempertahankan pikiran yang logis, dan berbagai keterampilan yang
bermanfaat untuk menjalin hubungan interpersonal secara sengaja diajarkan dan
dilatih. Anak yang tidak daat menjalin hubungan antar manusia atau hubungan
interpersonal akan memeproleh teguran tidak hanya dari guru tetapi juga oleh
teman-temannya dalam kelompok.
Ada beberapa perbedaan antara kelompok belajar
kooperatif dengan kelompok belajar tradisional. Sejumlah perbedaan tersebut
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Kelompok belajar
kooperatif didasarkan atas saling ketergantungan positif yang menuntut tiap
anggota kelompok saling membantu demi keberhasilan kelompok. Dalam kelompok
belajar tradisional sering ada yang mendominasi atau bergantung pada kelompok
atau anggota lain.
2.
Kelompok belajar
kooperatif menuntut adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan
bahan belajar tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi balikan tentang
prestasi belajar anggota-anggotanya sehingga mereka saling mengetahui teman
yang memerlukan bantuan. Dalam kelompok belajar tradisional, akuntabilitas
individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah
seorang anggota kelompok sedangkan anggota yang lain hanya mendompleng
keberhasilan (pemborong).
3.
Kelompok belajar
kooperatif terdiri dari anak-anak yang berkemampuan atau memiliki karakteristik
heterogen sedangkan dalam kelompok belajar tradisional, anggotanya sering
homogen.
4.
Dalam kelompok
belajar kooperatif pemimpin kelompok dipilih secara demokratis, sedangkan dalam
kelompok belajar tradisonal pemimpin kelompok sering ditenttukan oleh guru.
5.
Dalam kelompok
belajar kooperatif semua anggota harus salaing membantu dan saling memberiakn
motifasi sedangkan dalam kelompok belajar tradisional sering tidak mengharuskan
demikian.
6.
Dalam kelompok
belajar kooperatif, penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tapi juga
pada upaya mempertahankan hubungan interpersonal antar anggota kelompok. Dalam
kelompok belajar tradisonal penekanan sering hanya dalam penyelesaiaan tugas.
7.
Dalam kelompok
belajar kooperatif keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam kerja gotong
royong seperti kepemimpinan, kemampua berkomuniaksi, mempercayai orang lain,
dan mengelola konflik secara langsug diajarkan. Dalam kelompok belajar
tradisonal keterampilan sosial semacam itu, sering hanya diasumsikan.
8.
Pada saat
belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan observasi terhadap
kelompok-kelompok belajar, yang melakukan intervensi jika terjadi masalah
dalamkerja sama antar anggota kelompok. Observasi dan intervensi, semacam itu
sering tidak dilakukan oleh guru dalam kelompok belajar tradisonal.
9.
Dalam kelompk
belajar kooperatif, guru memperhatikan efektfitas proses kelompok belajar
sedangkangkan dalam kelompok belajar tradisonal guru sering kurang perduli,
apakah kelompok belajar berjalan dengan baik atau tidak.
Ada
berbagai alasan, dipilihnya interaksi kooperatif dalam pembelajaran. Menurut
Johnson dan Johnson, hasil-hasil penelitian menujukkan bahwa interaksi
kooperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak.
Berbagai pengaruh positif tersebutadalah:
1. meningkatkan
prestasi belajar
2. meningkatkan
retensi
3. lebih
dapat digunakan untuk mencapai taraf penalaran tingkat tinggi
4. lebih
dapat mendorong tubuhnya motivasi intrinsik
5. lebih
sesuai untuk meningkatkan hubungan antara manusia yang henterogen
6. meningkatkan
sikap anak yang positif terhadap sekolah
7. meningkatkan
sikap anak yang positif terhadap guru
8. meningkatkan
harga diri anak
9. meningkatkan
prilaku penyesuaian sosial yang positif
10. meningkatkan
keterampilan hidup bergotong royong
Tujuan
dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupanbangsa dan untuk mengembangkan
diri manusia seutuhnya, yaitu menjadikan manusia berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki
kepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan yang baik. Untuk mencapai tujuan semacam itu
sistem pendidikan harus berakar pada kebudayaan bangsa. Indonesia denganberdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Hasil-hasil penelitian seperti yang telah dikemukakan menunjukan bahwa melalui
interaksi kooperatif inilah anak-anak lebih dapat dibentuk menjadi manusia
untuh seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasonal.
Menciptakan interaksi kooperatif dalam kegiatan
pembelajaran bukan perkerjaan mudah. Pembelajaran kooperatif menuntut peranan
guru yang berbeda dari pembelajaran tradisional.berbagai peranan tersebut
secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:[1]
1. Merumuskan
tujuan pembelajaran
Ada
dua macam tujuan pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu tujuan
akademik ( academik objectives ) dan tujuan keterampilan berkerja sama (
collborative skills objectives ). Tujuan akademik dirumuskan sesuai dengan
taraf perkembangan anak dan suatu konseptual atau analisis tugas, sedangkan
tujuan keterampilan berkerjasama meliputi keterampilan mememimpin,
berkomunikasi, untuk mempercayai orang lain dan mengelolah konflik.
2. Menentukan
besarnya, kelompok belajar
Besarnya
kelompok belajar dalam pembelajaran kooperatif biasanya terdiri dari dua sampai
enam anak. Ada beberapa faktor yang perlu dipertmbangakan dalam menentukan
besarnya kelompok belajar yaitu, kemampuan anak, ketersedan bahan, dan
ketersediaan waktu. Kelompok beljar sehendaknya sekecil mungkin agar semua anak
menyelesaikan tugas-tugas mereka.
3. Menetukan
anak dalam kelompok
Ada
empat penayaan mendasar yang perlu dijawab untuk menetukan atau menugaskan anak
dalam kelompok.
a. Penepatan
anak secara homogen atau heterogen. Pengelompokan anak dalam pembelajaran
kooperatif hendaknya secara hetorogen. Dengan demikian, kelompok memiliki
anggota yang tergolong berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
b. Bagaimana
menepatkan anak dalam kelompok. Bagi anak-anak yang baru mengenal belajar
kooperatif sebaiknya dimulai dengan menepatkan mereka kedalam kelompok belajar
kooperatif yang berorientasi pada bukan tugas (nontask-orietet). Bagi anak-anak
dalam belajar kooperatif, mereka dapat ditempatkan dalam kelompok belajar
kooperatif yang berorientasi dalam
tugas.
c. Anak-anak
bebas dalam memilih teman atau ditentukan oleh guru.
Kebebasan
memilih teman sering menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok belajar homogen
yang dapat menggagalkan tujuan belajar kooperatif.
Ada beberapa teknik
untuk menentukan anak kedalam kelompok, antara lain:
1)
Bedasarkan
sosiometri
Melalui
metode ini,
anakdapat
ditentukan apakah ia tergolong disukai olehbanyak teman atau tergolong
terisolasi. Anak yang terisolasi sebaiknya
dimasukan dalam kelompok anak yang disukai olehbanyak teman.
2)
Bedasarkan
kesamaan nomer
Jika
jumlah anak dalam suatu kelas ada 30 misalnya ada guru ingin membentuk 10
kelompok masing-masing beranggotaka 3 anak, guru dapat menghitung anak-anak
tersebut dengan hitungan 1-10. Anak yang bernomer sama berkumpul dalam satu
kelompok sehingga dengan demikian diperoleh 10 kelompok belajar yang anggotanya
diharapkan berkemampuan heterogen.
3)
Menggunakan
teknik acak berstrata
Lebih
dahulu ditentukan kelompok anak secara homogen, misalnya kelompok anak pandai
dalam bidang tertentu, sedang, kurang, menyandang ketunaan dan sebagainya.
Setelah itu, kelompok-kelompk tersebut diubah menjadi kelompok-kelompok
hoterogen sehingga dalam setiap kelompok terdapat anak pandai, sedang, kurang,
dan luar biasa.
4)
Menentukan
tempat duduk anak
Tempat
duduk hendaknya disusun agar setiap anggota kelompok saling bertatap muka
tetapi cukup terpisah dari kelompok-kelompok lainnya. Susunan tempat duduk
dalam lingkaran atau berhadap-hadapan dapat menjadi pilihan.
5)
Merancang bahan
untuk meningkatkan saling ketergantuan
Cara
menyusun bahan belajardan menggunakannya dalam suatu kegiatan belajar dapat
menetukan keefektifan pencapaian belajar melalui saling ketergantungan positif
antar anak-anak. Bahan ajar hendaknya dibagikan kepada setiap anak agar mereka
dapat berpartisipasi untuk mencapai tujuan dari pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Ada
tiga macam cara meningkatkan saling ketergantungan positif, yaitu:
· Saling
ketergantungan bahan.
Setiap kelompok hanya
diberi bahan ajar, dan kelompok harus berkerjasama untuk mempelajarinya.
· Saling
ketergantungan informasi.
Tiap kelompok diberi
bahan belajar yang berbeda untuk disintesiskan.
· Saling
ketergantungan menghadapi lawan dari luar.
Bahan belajar disusun
dalam bentuk pertandingan antar kelompok berkekuatan setara sebagai dasar untuk
meningkatkan saling ketergantungan antar anggota kelompok.
6)
Menetukan
peranan untuk menunjang saling ketergantungan
Saling ketergantungan inibiasanya juga disusun
berdasarkan tugas-tugas yang saling melengkapi pada setiap anggota kelompoknya. Dalam pelajaran ipa misalnya
seorang anaggota kelompok ditugaskan sebagai penyimpul, lainnya sebagai
peneliti, penulis, pemberi semangat, dan ada pula menjadi pengawas, terjalinnya
kerjasama.
7)
Menjelaskan
tugas akademik
Berikutiniadalahaspek-aspek yang harus disadari oleh guru
dalam menjelaskan tugas akademiknyakepada
anak, yaitu:
· Menyusun
tugas sehingga anak-anak menjadi jelas tentang tugas tersebut.bagi anak-anak,
kejelasan tugas dapat enghindarkan mereka dari prustasi. Dalam pembelajaran
kooperatif anak yang tidak memahami tugasnya dapat pertanya kepada kelompoknya
sebelum bertanya kepada guru.
· Menjelaskan
tujuan pembelajaran dan kaitanya dengan pengalaman anak dimasa lampau.
· Mendefinisikan
konsep-konsep, menjelaskan prosedur yang harus diikuti oleh anak, atau
memberikan contoh-contoh.
· Mengajukan
pertanyaan-pertanyaan khusus untuk mengetahui pemahaman anak tentang tugasnya.
8)
Mengomunikasiakan
kepada anak tentang tujuan dan keharusan berkerjasama
Untuk mengomunikasikan
kepada anak tentang tujuan dan keharusan berkerjasama, guru dapat menggunakan
cara-cara sebagai berikut:
· Meminta
kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya atau produk.
· Menyediakan
hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah satu cara mendorong
kelompok menjalin kerjasama sehingga terjalin rasa kebersamaan.
9)
Menyusun
akutabilitas individual
Suatu kelompok belajar
tidak dapat dikatakan benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota
yang mengerjakan seluruh perkerjaan atau anggota yang tidak melakukan
perkerjaan apapun demi kelompok.
10) Menyusun
kerjasama antar kelompok
Hasil positif yang
ditemukan dalam suatu kelompom berjalan kooperatif dapat diperluas seluruh
kelas dengan menciptakan kerjasama antar kelompok.
11) Menjelaskan
keriterial keberhasilan
Dalampenilaian pembelajaran kooperatif inibertolak dari penilaian acuan danpatokan. Pada awal kegiatan
pembelajaran guru hendaknya menjelaskan dengan gamblang tentang bagaimana
perkerjaan anak-anak akan dinilai.
12) Mendefinisikan prilaku yang diharapkan
Perkataan kerjasama
atau gotong royong sering memiliki konotasi dan penggunaanya bermacam-macam.
Oleh karena itu, guru perli mendefinisikan perkataan kerjasama tersebut secara
operasional dalam bentuk berbagai perilaku yang sesuai dengan pembelajaran
koperatif.
13) Memantau
perilaku anak
Setelah
kelompok-kelompok mulai berkerja, guru hendaknya menjelaskan pelajaran,
pengulangan prosedur dan strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab
pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan menyelesaikan tugas jika perlu.
14) Memberi
bantuan kepada anak dalam menyelesaikan tugas
Pada saat melakukan
pemantauan, guru hendaknya menjelasakan pelajaran, mengulang prosedur dan
strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan
keterampilan menyelesaikan tugas jika perlu.
15) Intervensi
untuk mengajarkan keterampilan berkerjasama
Pada saat memantau
kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang menemukan anak yang
tidak memiliki keterampilan berkerjasama yang cukup dan adanya kelompok yang
memiliki masalah dalam menjalin kerjasama.
16) Menutup
pelajaran
Pada saat pembelajaran
berakhir guru meringkas pokok-pokok pelajaran, meminta anak-anak mengemukakan
ide-ide atau meberi contoh dan menjawab pertanyaan akhir yang mungkin diajukan
oleh anak.
17) Mengevaluasi
kualitas dan kuantitas belajar anak
Seorang guru dalam melakukan evaluasi terhadap hasil
belajar kelompok berdasarkan penilaian acuan danpatokan. Para anggota kelompok
harus juga memberikan umpan balik tentang hasil belajar dankerjasama mereka
dalam kelompok.
18) Mengevalusi
kebagusan berfungsinya kelomok belajar
Meskipun waktu belajar
dikelas terbatas, kadang-kadang diperlukan waktu untuk membicarakan kebagusan
kelompok-kelompok bberfungsi pada hari itu, apa yang telah dilakukan dengan
baik dan apa yang perlu ditingkatkan.
Adapun tujuan dari
pembelajaran kooperatif, antara lain:[2]
1) Hasil
Belajar Akadmeik
Beberapa
ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa untuk memahami
konsep-konsep sulit para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa dalam
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungangan baik pada siswa kelompok
bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas
akademik.
2) Penerapan
terhadap perbedaan idividu
Pembelajaran
kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dn kondisi
untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui
struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3) Pengembangan
keterampilan sosial
Tujuan
ini adalah untuk mengajarkan keterampilan, bekerja sama, dan kolaborasi.
B.
Suasana
Belajar Kompetitif
Alasan utama seorang guru memilih suasana kompetitif
umumnya untuk membangkitkan motivasi belajar. Alasan tersebut tidak keliru
karena manusia pada hakikatnya memiliki needs
for achievenemt dan need for poweryang biasanya dapat dipenuhi melalui
kompetisi. Tetapi, guru sering juga bahwa kompetisi antar individu atau
antarkelompok yang tidak seimbang dapat menimbulkan keputusasaan bagi yang
lemah dan menimbulkan kebosanan bagi yang kuat. Di samping itu, kompetisi
didalam kelas yang tidak sehat dapat dibawa keluar kelas dalam bentuk
permusuhan. Dengandemikian,
seorang
guru sangat perluhati-hati
dalam menciptakan suasana belajar yang kompetitif dalam suatukegiatan pembelajaran.[3]
1.
Strategi
Pembelajaran Kompetitif
Manusia
berkompetisi dengan sesmanya karena ada dorongan untuk berprestasi. Kebutuhan
untuk berprestasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan
segala sesuatu dengan baik, yaitu sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan
umat manusia.
Penciptaan
suasan belajar kompetitif perlu dikaitkan dengan tujuan belajar yang ingin
dicapai. Tidak semua tujuan belajar yang efektif dicapai dngan pembelajara
kompetitif. Pembelajaran kompetitif hendaknya digunakan untuk mencapai tujuan
belajar kognitif taraf rendah atau yang bersifat hafalan, yang sangat diperlukan
dari kehidupan. Misalnya, menghafal perkalian 1-10, urutan abjad, nama hari,
dan anama bulan. Suasana belajar kompetitif ini juga efektif mencapai tujuan
belajar yang berkenaan dengan keterampilan mototrik seperti berlari, berenang,
ataupun dalam olahraga bela diri. Jadi pemebalajaran kompetitif hendaknya yang
digunakan untuk bersenang-senang atau untuk pembelajaran yang membosankan dan
tidak mendominasi kegiatan pembelajaran, namun pemebalajaran ini sagat penting
dalam kehidupan sehari-hari.[4]
2.
Prinsip belajar
kompetitif
Ada
dua prinsip yang sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan
interaksi pembelajaran kompetitif, antara lain yaitu:[5]
a. Kompetitif
harus antarindividu atau antarkelompok yang berkemampuan seimbang,
b. Kompetitif
hanya dilakukan untuk selingan yang menyenangkan, bukan kompetisi perjuangan
hidup-mati.
Jika
seorangguru
ingin menciptakan suatukompetisi
antarindividu maka individu yang saling berkompetisi harus sama-samamemiliki peluang untuk kalah atau menang. Begitu pula jika kompetisi
tersebut antarkelompok.
3.
Jenis-jenis
belajar kompettif
Ada
empat jenis interaksi kompetitif yang efektif untuk mecapai tujuan belajar,
antara lain yaitu:[6]
a. Kompetisi
antarindividu atau antar anak yang berkemampuan seimbang
Suatu kompetisi menarik
bagi anak jika anak satu dengan anak lain memiliki peluang untuk kalah dan
menang secara sama atau seimbang . jika lawan terlalu lemah, anak tidak
bersemangat untuk belajar dan jika lawan terlalu kuat anak bisa kalah sebelum
bertanding.
b. Kompetisi
antarkelompok yang berkekuatan relatif sama atau seimbang
Prinsip kompetisi yangs
ehat adalah adanya peluang untuk kalah dan memang sama antar kelompok
berkekuatan seimabng, yang pada hakikatnya merupakan perpaduan antara suasan
kooperatif dan kompetitif. Anak-anak haus salaing membantu dan mendorong antara
sesamanya dalam kelompok agar dapat mengalahkan kelompok lain.
c. Kompetisi
dengan standar nilai minimum
Nilai minimum yang
dimaksud adalah nilai 6. Anak yang memperoleh nilai 6 biasanya dinyatakan
sebagai anak yang mencapai tingkat keberhasilan sedang atau tidak tinggi dan
tidak rendah. Kompetisi ini mempersonifikasikan angka 6 sebagai lawan yang
harus dikalahkan. Artinya semua anak harus mencapai angka minumin 6. Anak
memeperoleh nilai 6 atau lebih dianggap menang. Oleh karena itu anak itu berhak
mendapatkan hadiah.
d. Kompetisi
dengan diri sendiri
Dengan kompetisi ini
membiasakan anak untuk emmiliki mental bahwa hari ini harus lebih baik dari
kemarin dan hari esok harus lebih baik dari pada hari ini. Untuk menciptakan
prestasi semacam ini, guru hendaknya memiliki daftar nilai harian untuk mata
pelajaran tertentu dari awal hingga akhir semester. Anak yang meraih nilai
tinggi daripada nilai sebelumnya diberikan hadiah atau tanda bintang, berapapun
nilai yang beerhasil mereka tingkatkan.
Kompetisi
antarindividu atau antarkelompok yang berkemampuan seimbang sangat sulit
dilaksanakan sesungguhnya tidak mungkin benar-benar terwujud. Kompetisi dengan
standar nilai minimum didasarkan atas alasan bahwa untuk naik kelas anak harus
mencapai prestasi minimum tertentu, misalnya skor rata-rata enam. Kompetisi
dengan diri sendiri didasarkan atas semboyan “hari ini harus lebih baik dari
pada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini”.
C.
Suasana
Belajar Individualistik
Perlu diketahui bahwa teknik modifikasi perilaku (behavior modification) tidak hanya dapat
digunakan dalam pembelajaran individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam
pembelajaran kelompok. Modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi
pembelajaran yang bertolakbelakang
dari pendekatan behavioral (behavioral
approach) yang menerapkan suatuprinsip-prinsip
operant conditioning.
1.
Ada empat
karakteristik utama dalam pendekatan behavioral, antara lain:
a.
Terfokus dalam
perilaku yang dapat diamati,
b.
Asesme yang
cermat terhadap perilaku yang akan diubah atau dikembangkan,
c.
Evaluasi
terhadap pengaruh program pengubahan perilaku, dan
d.
Menekankan pada
perubahan perilaku sosial yang bermakna.
2.
Ada enam prinsip
operant conditioning yang mendasari strategi motifikasi perilaku,
yaitu:
a. Memberikan
ulangan pengetahuan (Reinforcement)
Prinsip
memberikan ulangan pengetahuan menunjukan pada suatu peningkatan frekuensi
respons jika respons tersebut diikuti dengan konsepkuensi tertentu.
Konsepkuensi yang mengikuti perilaku atau respons harus merupakan satu kesatuan
dengan perilaku tersebut.konsepkuensi yang dapat meningkatkan frekuensi
perilaku disebut reinforcer ada dua
macam reinforcer, yaitu positive reinforcer dan negative reinforcer. Positive reinforcer
adalah peristiwa yang muncul setelah suatu respons yang diharapkan. Negative
reinforcer adalah peristiwa hilangnya suatu yang tidak menyenagkan setelah
respons duharapkan ditampilkan.
Ulangan
pengutan positif (positive reinfoncerment)
menunjukan pada suatu peningkatan frekuensi dari suatu respons yang diikuti
oleh peristiwa yang menyenangkan (positive
reinforcer). Dalam kehidupan sehari-hari positive reinforcer dibedakan
dari rewaid, jika peristiwa yang menyertai
perilaku itu menyebabkan meningkatnya frekuensi perilaku yang diharapkan, maka
peristiwa tersebut dinamai positve reinforcer. Sebaliknya, suatu reward belum tentu dapat meningkatkan frekuensi
perilaku yang diharpkan. Dengan kata lain, positev reifoncer adalah reward yang dapat menngkatkan frekuensi perilaku yang
diharapkan.
Ada
dua macam positive reinforcer, yaitu: (1) primary
or unconditioned reinforcer dan (2) secondary
or conditionedreinforcer. Contohdariprimary reinforcer adalah makanan bagi orang yang lapar,
sedangkan contoh dari secondary reinforcer
adalah angka 100 bagi anak yang menyelesaikan tugas secara sempurna. Negative reinforcerment menuju pada
peningkatan frekuensi respons melalui penyingkiran peristiwa yang tidak
menyenangkan segera setelah respons yang diharapkan diperlihatkan. Suatu
peristiwa dapat dikatakandengannegative reinforcer jika
penghilangannya
munculsetelah
respons yang dikehendaki meningkatkan frekuensi penampilan darirespons tersebut. Contoh dari negative reinforcer adalah bunyinya
tanda peringatan pada saat mobil berjalan melampaui batas kecepatan yang dapat
membahayakan.
Ada
dua macam negative reinforcer, yaitu (1) primary negative reinforcer dan (2) sencondary negative reinforcer. Contoh dari primary negative reinforcer adalah stimulus yang kuat seperti suara
keras yang mengenai indra kita. Contoh dari sencondary
negative reinforcer adalah ekspresi wajah yang tidak menyetujui atau ucapan
kata “tidak”.
b. Memberikan
Hukuman (Punishment)
Prinsip
punishment adalah kehadiran suatu peristiwa yang tidak
menyenangkan atau penghilangan peristiwa yang menyenangkan yang mengikuti suatu
respons yang dapat menghilangkan atau mengurangi frekuensi respons tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara funishment dengan
negative reinforcerment. Funishment ditunjukan
untuk menghilangkan respons sedangkan negative
(juga positive) reinforcerment
ditunjukan untuk meningkatkan respons. Dalam funishment suatu keadaan yang tidak menyenangkan merupakan akibat
yang mengikuti respons, sedangkan dalam negative
reinforcement, keadaan yang tidak menyenangkan dihilangkan suatu respons
yang diharapkan muncul.
c. Menghapus
(extinction)
Prinsip
operant conditioning lain yang penting adalah extinction adalah penghentian reinforcement
dari suatu respons. Prinsip ini
didasarkan atas amsumsi bahwa non-reinforcement
dari suatu respons dapat menurunkan atau menghilangkan respons tersebut.
Ada perbedaan antara extinction dengan
mengabaikan rengengkan anaknya. Seorang dokter mengabaikan keluhan fisik dari
pasien hipokondria. Seorang guru mungkin mengabaikan siswa yang berbicara tanpa
mengangkat tangan terlebih dahulu. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua atau
guru sering mengabaikan prilaku anak yang baik (extinction)dan menegur perilaku yang tidak baik (reinforcement).
d. Membentuk
Dan Merangkaikan (Shaping And Chaining)
Prinsip
operant conditioning berikutnya
adalah Shaping And Chaining. Perilaku
yang diharapkan mungkin terlalu kompleks sehingga anak tidak dapat
melakukannya. Untuk menguasai perilaku semacam itu mungkin perlu dipecah-pecah
terlebih dahulu menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dilakukan oleh orang
setahap demi setahap. Dalam shaping, perilaku
akhir yang diharapkan dicapai melalui pemberian rainforcement terdapat setiap langkah menuju renspon akhir.
e. Menganjurkan
dan memudarkan (Promting and Fading)
Pengembangan
perilaku sering dipermudah oleh penggunaan isyarat (Cues), perintah (Intruction),
gerak-isyarat (Gesture), pengarahan (Direction), pemberian contoh (examples), dan model untuk memulai suatu
respon. Suatu peristiwa yang membantu anak melakukan suatu respons disebut prompts.Prompts mendahului suatu
respons. Jika prompts menghasilkan
repons, respons tersebut dapat diikuti dengan reinforcement.
f. Deskriminasi
dan kontrolrangsangan (Distrimination and
Stimuluscontrol)
Operant Behafior
dipengaruhi oleh konsekunsi yang mengikuti perilaku. Bagaimanapun juga,
peristiwa yang mendahului juga mengontrol perilaku. Macam-macam prompt seperti intruction, physical guidence, models, dan verbal cues, merupakan peristiwa yang dapat mengontrol perilaku.
Tetapi, stimulus yang mendahului tersebut merupakan kontrol yang memaksa dalam
munculnya perilaku.
Stimulus
kontrol juga merupakan fakta dalam seleksi dan konsumsi maaknan. Contohnya,
buah masak misalnya apel merah. Dikaitkan dengan rasa manis, sedangkan apel
hijau (buah warna yang berwarna hijau umumnya belum masak) dikaitkan dengan
rasa asam. Rasa manis dari buah masak memperkuat seleksi dan konsumsi apel
merah. Warna buaha dalah stimulus yang mengontrol kemungkinan yang akan datang
untuk memakan buah tersebut.
g. Generalisai
(Generalizaton)
Stimulus generalization, menunjuk pada
generalisasi atau transfe dari suatu respon pada situasi-situasi lain di luar
tempat latihan. Generalization merupakan
lawan dari Discrimination. Derajat
dari stimulus generalization merupakan suatu fungsi dari kesamaan stimulus atau
situasi baru dengan stimulus yang berkaitan dengan respon yang dilatihkan. [7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan
yang menekankan pada interaksi koopertatif adalah pendidikan yang secara
bersungguh-sungguh berupaya mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam
dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang menekankan pada suasan
belajar kooperatif pada hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan
back to basic, kembali keakar budaya bangsa kita sendiri. Interaksi kooperatif
menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka
sehingga mereka dapat melakukan dialog tidak hanya dengan guru tetapi juga
sesama mereka
Sedangkan Alasan utama seorang guru memilih
suasana kompetitif umumnya untuk membangkitkan motivasi belajar. Alasan
tersebut tidak keliru karena manusia pada hakikatnya memiliki needs for achievenemt dan need for poweryang
biasanya dapat dipenuhi melalui kompetisi. Tetapi, guru sering juga bahwa
kompetisi antar individu atau antarkelompok yang tidak seimbang dapat
menimbulkan keputusasaan bagi yang lemah dan menimbulkan kebosanan bagi yang
kuat
Teknik
modifikasi perilaku (behavior
modification) tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran
individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok.
[1]
Mulyono Abdurrahman, “Anak Bekesulitan
Belajar (Teori, Diagnosis, dan Remediasinya)”(Jakarta: PT Rineka Cipta,
2012), hal. 87-97.
[2]Kiromim
Baroroh, “Efektifitas Pembelajaran
Kooperatif Dalam Meningkatkan Efektifitas Dan Presasi Belajar Mahasiswa”, (Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), 2009), Jurnal Ekonomi dan Pendidikan,
Volume 6 Nomer 2, hal. 135-136.
[3]Mulyono
Abdurrahman, “ Anak Berkesulitan Belajar
(Teori,Diagnosis, Dan Remediasinya)”,hal.97.
[4]Laili
S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, (Yogyakarta:
Familia, 2013), hal. 77.
[5]Mulyono
Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar
(Teori, Diagnosis, dan Remediasinya), hal.97.
[6]Laili
S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, hal.
79-82.
[7]Mulyono
Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar
(Teori, Diagnosis, dan Remediasinya),Hal.98-104