Tuesday, November 13, 2018

Makalah Menciptakan Suasana Belajar Yang Sehat untuk AUD

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belajar merupakan sebuah proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya fikir dan kemampuan-kemampuan individu yang lainnya.
Dalam proses pembelajaran, suasana belajar sangat berpengaruh dalam meningkatkan hasil belajar pada anak. Apabila pembelajaran menyenangkan maka dapat menimbulkan minat dan motivasi siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini kemampuan guru dalam menyampaikan suatu pembelajaran sangat berpengaruh terhadap minat siswa dalam kegitan belajar. Apabila guru mampu membuat suasana kelas menjadi menyenangkan, maka siswa dapat termotivasi untuk semangat dalam belajar dan pada akhirnya hasil belajar pada siswa dapat meningkat. Dalam suasana pembelajaran yang sehat dapat dibagi menjadi tiga suasana, yaitu suasana belajar kooperatif, suasana belajar kompetitif, dan suasana belajar individualistik.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Suasana Pembelajaran Kooperatif?
2.    Bagaimana Suasana Pembelajaran Kompetitif?
3.    Bagaimana Suasana Pembelajaran Individualistik?

C.    Tujuan
1.    Untuk Mengetahui Suasana Belajar Kooperatif.
2.    Untuk Mengetahui Suasana Belajar Kompetitif.
3.    Untuk Mengetahui Suasan Belajar Individualistik.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Suasana Belajar Kooperatif
Masayarakat sudah lama mengenal semboyan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Semboyan tersebut telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap upaya pembebasan bangsa indonesia dari belenggu penjajahan. Semboyan semacam itu juga telah memberikan semangat kerja sama yang luar biasa dalam emmecahkan berbagai masalah kehidupan dunia pendidikan kita juga sudah lama mengenal semboyan silih asah, silih asih, silih asuh. Semboyan tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung tulodo yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara telah begitu melekat dihati bangsa indonesia.
Pendidikan yang menekankan pada interaksi koopertatif adalah pendidikan yang secara bersungguh-sungguh berupaya mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang menekankan pada suasan belajar kooperatif pada hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan back to basic, kembali keakar budaya bangsa kita sendiri. Interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog tidak hanya dengan guru tetapi juga sesama mereka.Dalaminteraksitersebut diharapkananak-anakdapat menjadi sumber belajar bagi sesamanya. Interaksi semacam itu diperlukan karena anak-anak sering merasa lebih mudah belajar dari sesama dari pada belajar dari guru. Interkasi tatap muka memungkinkan tersedianya sumber belajar yang berfariasi tatap muka memungkinkan tersedianya sumber belajar yang bervariasi yang dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan belajar, terutama bagi anak yang tergolong berkesulitan belajar.
Pembelajaran kooperatif menampakan wujudnya dalam belajar kelompok. Dalam kelompok belajar kooperatif, anak tidak diperkenankan mendominasi atau menggantungkan diri pada anak lain. dalam kelompok belajar kooperatif ditanamkan norma bahwa sikap mendominasi orang lain adalah sama buruknya dengan sifat menggantungkan diri pada orang lain. dalam kelompok belajar kooperatif, tiap anggota kelompok dituntut untuk memberikan urunan bagi keberhasilan kelompok nilai hasil belajar kelompok ditentukan oleh rata-rata nilai hasil belajar individual.
Dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide lain orang, berani mempertahankan pikiran yang logis, dan berbagai keterampilan yang bermanfaat untuk menjalin hubungan interpersonal secara sengaja diajarkan dan dilatih. Anak yang tidak daat menjalin hubungan antar manusia atau hubungan interpersonal akan memeproleh teguran tidak hanya dari guru tetapi juga oleh teman-temannya dalam kelompok.

Ada beberapa perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional. Sejumlah perbedaan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.         Kelompok belajar kooperatif didasarkan atas saling ketergantungan positif yang menuntut tiap anggota kelompok saling membantu demi keberhasilan kelompok. Dalam kelompok belajar tradisional sering ada yang mendominasi atau bergantung pada kelompok atau anggota lain.
2.         Kelompok belajar kooperatif menuntut adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan bahan belajar tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi balikan tentang prestasi belajar anggota-anggotanya sehingga mereka saling mengetahui teman yang memerlukan bantuan. Dalam kelompok belajar tradisional, akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota yang lain hanya mendompleng keberhasilan (pemborong).
3.         Kelompok belajar kooperatif terdiri dari anak-anak yang berkemampuan atau memiliki karakteristik heterogen sedangkan dalam kelompok belajar tradisional, anggotanya sering homogen.
4.         Dalam kelompok belajar kooperatif pemimpin kelompok dipilih secara demokratis, sedangkan dalam kelompok belajar tradisonal pemimpin kelompok sering ditenttukan oleh guru.
5.         Dalam kelompok belajar kooperatif semua anggota harus salaing membantu dan saling memberiakn motifasi sedangkan dalam kelompok belajar tradisional sering tidak mengharuskan demikian.
6.         Dalam kelompok belajar kooperatif, penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tapi juga pada upaya mempertahankan hubungan interpersonal antar anggota kelompok. Dalam kelompok belajar tradisonal penekanan sering hanya dalam penyelesaiaan tugas.
7.         Dalam kelompok belajar kooperatif keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampua berkomuniaksi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsug diajarkan. Dalam kelompok belajar tradisonal keterampilan sosial semacam itu, sering hanya diasumsikan.
8.         Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan observasi terhadap kelompok-kelompok belajar, yang melakukan intervensi jika terjadi masalah dalamkerja sama antar anggota kelompok. Observasi dan intervensi, semacam itu sering tidak dilakukan oleh guru dalam kelompok belajar tradisonal.
9.         Dalam kelompk belajar kooperatif, guru memperhatikan efektfitas proses kelompok belajar sedangkangkan dalam kelompok belajar tradisonal guru sering kurang perduli, apakah kelompok belajar berjalan dengan baik atau tidak.

Ada berbagai alasan, dipilihnya interaksi kooperatif dalam pembelajaran. Menurut Johnson dan Johnson, hasil-hasil penelitian menujukkan bahwa interaksi kooperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Berbagai pengaruh positif tersebutadalah:
1.      meningkatkan prestasi belajar
2.      meningkatkan retensi
3.      lebih dapat digunakan untuk mencapai taraf penalaran tingkat tinggi
4.      lebih dapat mendorong tubuhnya motivasi intrinsik
5.      lebih sesuai untuk meningkatkan hubungan antara manusia yang henterogen
6.      meningkatkan sikap anak yang positif terhadap sekolah
7.      meningkatkan sikap anak yang positif terhadap guru
8.      meningkatkan harga diri anak
9.      meningkatkan prilaku penyesuaian sosial yang positif
10.  meningkatkan keterampilan hidup bergotong royong

Tujuan dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupanbangsa dan untuk mengembangkan diri manusia seutuhnya, yaitu menjadikan manusia berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang baik. Untuk mencapai tujuan semacam itu sistem pendidikan harus berakar pada kebudayaan bangsa. Indonesia denganberdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Hasil-hasil penelitian seperti yang telah dikemukakan menunjukan bahwa melalui interaksi kooperatif inilah anak-anak lebih dapat dibentuk menjadi manusia untuh seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasonal.
                       
Menciptakan interaksi kooperatif dalam kegiatan pembelajaran bukan perkerjaan mudah. Pembelajaran kooperatif menuntut peranan guru yang berbeda dari pembelajaran tradisional.berbagai peranan tersebut secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:[1]
1.      Merumuskan tujuan pembelajaran
Ada dua macam tujuan pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu tujuan akademik ( academik objectives ) dan tujuan keterampilan berkerja sama ( collborative skills objectives ). Tujuan akademik dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan anak dan suatu konseptual atau analisis tugas, sedangkan tujuan keterampilan berkerjasama meliputi keterampilan mememimpin, berkomunikasi, untuk mempercayai orang lain dan mengelolah konflik.
2.      Menentukan besarnya, kelompok belajar
Besarnya kelompok belajar dalam pembelajaran kooperatif biasanya terdiri dari dua sampai enam anak. Ada beberapa faktor yang perlu dipertmbangakan dalam menentukan besarnya kelompok belajar yaitu, kemampuan anak, ketersedan bahan, dan ketersediaan waktu. Kelompok beljar sehendaknya sekecil mungkin agar semua anak menyelesaikan tugas-tugas mereka. 
3.      Menetukan anak dalam kelompok
Ada empat penayaan mendasar yang perlu dijawab untuk menetukan atau menugaskan anak dalam kelompok.
a.       Penepatan anak secara homogen atau heterogen. Pengelompokan anak dalam pembelajaran kooperatif hendaknya secara hetorogen. Dengan demikian, kelompok memiliki anggota yang tergolong berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
b.      Bagaimana menepatkan anak dalam kelompok. Bagi anak-anak yang baru mengenal belajar kooperatif sebaiknya dimulai dengan menepatkan mereka kedalam kelompok belajar kooperatif yang berorientasi pada bukan tugas (nontask-orietet). Bagi anak-anak dalam belajar kooperatif, mereka dapat ditempatkan dalam kelompok belajar kooperatif  yang berorientasi dalam tugas.
c.       Anak-anak bebas dalam memilih teman atau ditentukan oleh guru.
Kebebasan memilih teman sering menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok belajar homogen yang dapat menggagalkan tujuan belajar kooperatif.

Ada beberapa teknik untuk menentukan anak kedalam kelompok, antara lain:
1)        Bedasarkan sosiometri
Melalui metode ini, anakdapat ditentukan apakah ia tergolong disukai olehbanyak teman atau tergolong terisolasi. Anak yang terisolasi sebaiknya dimasukan dalam kelompok anak yang disukai olehbanyak teman.
2)        Bedasarkan kesamaan nomer
Jika jumlah anak dalam suatu kelas ada 30 misalnya ada guru ingin membentuk 10 kelompok masing-masing beranggotaka 3 anak, guru dapat menghitung anak-anak tersebut dengan hitungan 1-10. Anak yang bernomer sama berkumpul dalam satu kelompok sehingga dengan demikian diperoleh 10 kelompok belajar yang anggotanya diharapkan berkemampuan heterogen.
3)        Menggunakan teknik acak berstrata
Lebih dahulu ditentukan kelompok anak secara homogen, misalnya kelompok anak pandai dalam bidang tertentu, sedang, kurang, menyandang ketunaan dan sebagainya. Setelah itu, kelompok-kelompk tersebut diubah menjadi kelompok-kelompok hoterogen sehingga dalam setiap kelompok terdapat anak pandai, sedang, kurang, dan luar biasa.
4)        Menentukan tempat duduk anak
Tempat duduk hendaknya disusun agar setiap anggota kelompok saling bertatap muka tetapi cukup terpisah dari kelompok-kelompok lainnya. Susunan tempat duduk dalam lingkaran atau berhadap-hadapan dapat menjadi pilihan.
5)        Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantuan
Cara menyusun bahan belajardan menggunakannya dalam suatu kegiatan belajar dapat menetukan keefektifan pencapaian belajar melalui saling ketergantungan positif antar anak-anak. Bahan ajar hendaknya dibagikan kepada setiap anak agar mereka dapat berpartisipasi untuk mencapai tujuan dari pembelajaran yang telah ditetapkan.
Ada tiga macam cara meningkatkan saling ketergantungan positif, yaitu:
·      Saling ketergantungan bahan.
Setiap kelompok hanya diberi bahan ajar, dan kelompok harus berkerjasama untuk mempelajarinya.
·      Saling ketergantungan informasi.
Tiap kelompok diberi bahan belajar yang berbeda untuk disintesiskan.
·      Saling ketergantungan menghadapi lawan dari luar.
Bahan belajar disusun dalam bentuk pertandingan antar kelompok berkekuatan setara sebagai dasar untuk meningkatkan saling ketergantungan antar anggota kelompok.
6)        Menetukan peranan untuk menunjang saling ketergantungan
Saling ketergantungan inibiasanya juga disusun berdasarkan tugas-tugas yang saling melengkapi pada setiap anggota kelompoknya. Dalam pelajaran ipa misalnya seorang anaggota kelompok ditugaskan sebagai penyimpul, lainnya sebagai peneliti, penulis, pemberi semangat, dan ada pula menjadi pengawas, terjalinnya kerjasama.
7)        Menjelaskan tugas akademik
Berikutiniadalahaspek-aspek yang harus disadari oleh guru dalam menjelaskan tugas akademiknyakepada anak, yaitu:
·      Menyusun tugas sehingga anak-anak menjadi jelas tentang tugas tersebut.bagi anak-anak, kejelasan tugas dapat enghindarkan mereka dari prustasi. Dalam pembelajaran kooperatif anak yang tidak memahami tugasnya dapat pertanya kepada kelompoknya sebelum bertanya kepada guru.
·      Menjelaskan tujuan pembelajaran dan kaitanya dengan pengalaman anak dimasa lampau.
·      Mendefinisikan konsep-konsep, menjelaskan prosedur yang harus diikuti oleh anak, atau memberikan contoh-contoh.
·      Mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus untuk mengetahui pemahaman anak tentang tugasnya.
8)        Mengomunikasiakan kepada anak tentang tujuan dan keharusan berkerjasama
Untuk mengomunikasikan kepada anak tentang tujuan dan keharusan berkerjasama, guru dapat menggunakan cara-cara sebagai berikut:
·      Meminta kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya atau produk.
·      Menyediakan hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah satu cara mendorong kelompok menjalin kerjasama sehingga terjalin rasa kebersamaan.
9)        Menyusun akutabilitas individual
Suatu kelompok belajar tidak dapat dikatakan benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota yang mengerjakan seluruh perkerjaan atau anggota yang tidak melakukan perkerjaan apapun demi kelompok.
10)    Menyusun kerjasama antar kelompok
Hasil positif yang ditemukan dalam suatu kelompom berjalan kooperatif dapat diperluas seluruh kelas dengan menciptakan kerjasama antar kelompok.
11)  Menjelaskan keriterial keberhasilan
Dalampenilaian pembelajaran kooperatif inibertolak dari penilaian acuan danpatokan. Pada awal kegiatan pembelajaran guru hendaknya menjelaskan dengan gamblang tentang bagaimana perkerjaan anak-anak akan dinilai.
12)   Mendefinisikan prilaku yang diharapkan
Perkataan kerjasama atau gotong royong sering memiliki konotasi dan penggunaanya bermacam-macam. Oleh karena itu, guru perli mendefinisikan perkataan kerjasama tersebut secara operasional dalam bentuk berbagai perilaku yang sesuai dengan pembelajaran koperatif.
13)  Memantau perilaku anak
Setelah kelompok-kelompok mulai berkerja, guru hendaknya menjelaskan pelajaran, pengulangan prosedur dan strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan menyelesaikan tugas jika perlu.
14)  Memberi bantuan kepada anak dalam menyelesaikan tugas
Pada saat melakukan pemantauan, guru hendaknya menjelasakan pelajaran, mengulang prosedur dan strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan menyelesaikan tugas jika perlu.
15)  Intervensi untuk mengajarkan keterampilan berkerjasama
Pada saat memantau kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang menemukan anak yang tidak memiliki keterampilan berkerjasama yang cukup dan adanya kelompok yang memiliki masalah dalam menjalin kerjasama.
16)  Menutup pelajaran
Pada saat pembelajaran berakhir guru meringkas pokok-pokok pelajaran, meminta anak-anak mengemukakan ide-ide atau meberi contoh dan menjawab pertanyaan akhir yang mungkin diajukan oleh anak.
17)  Mengevaluasi kualitas dan kuantitas belajar anak
Seorang guru dalam melakukan evaluasi terhadap hasil belajar kelompok berdasarkan penilaian acuan danpatokan. Para anggota kelompok harus juga memberikan umpan balik tentang hasil belajar dankerjasama mereka dalam kelompok.
18)  Mengevalusi kebagusan berfungsinya kelomok belajar
Meskipun waktu belajar dikelas terbatas, kadang-kadang diperlukan waktu untuk membicarakan kebagusan kelompok-kelompok bberfungsi pada hari itu, apa yang telah dilakukan dengan baik dan apa yang perlu ditingkatkan.

Adapun tujuan dari pembelajaran kooperatif, antara lain:[2]
1)   Hasil Belajar Akadmeik
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep sulit para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa dalam belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungangan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2)   Penerapan terhadap perbedaan idividu
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dn kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3)   Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan ini adalah untuk mengajarkan keterampilan, bekerja sama, dan kolaborasi.

B.     Suasana Belajar Kompetitif
Alasan utama seorang guru memilih suasana kompetitif umumnya untuk membangkitkan motivasi belajar. Alasan tersebut tidak keliru karena manusia pada hakikatnya memiliki needs for achievenemt dan need for poweryang biasanya dapat dipenuhi melalui kompetisi. Tetapi, guru sering juga bahwa kompetisi antar individu atau antarkelompok yang tidak seimbang dapat menimbulkan keputusasaan bagi yang lemah dan menimbulkan kebosanan bagi yang kuat. Di samping itu, kompetisi didalam kelas yang tidak sehat dapat dibawa keluar kelas dalam bentuk permusuhan. Dengandemikian, seorang guru sangat perluhati-hati dalam menciptakan suasana belajar yang kompetitif dalam suatukegiatan pembelajaran.[3]
1.         Strategi Pembelajaran Kompetitif
Manusia berkompetisi dengan sesmanya karena ada dorongan untuk berprestasi. Kebutuhan untuk berprestasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan segala sesuatu dengan baik, yaitu sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.
Penciptaan suasan belajar kompetitif perlu dikaitkan dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Tidak semua tujuan belajar yang efektif dicapai dngan pembelajara kompetitif. Pembelajaran kompetitif hendaknya digunakan untuk mencapai tujuan belajar kognitif taraf rendah atau yang bersifat hafalan, yang sangat diperlukan dari kehidupan. Misalnya, menghafal perkalian 1-10, urutan abjad, nama hari, dan anama bulan. Suasana belajar kompetitif ini juga efektif mencapai tujuan belajar yang berkenaan dengan keterampilan mototrik seperti berlari, berenang, ataupun dalam olahraga bela diri. Jadi pemebalajaran kompetitif hendaknya yang digunakan untuk bersenang-senang atau untuk pembelajaran yang membosankan dan tidak mendominasi kegiatan pembelajaran, namun pemebalajaran ini sagat penting dalam kehidupan sehari-hari.[4]
2.         Prinsip belajar kompetitif
Ada dua prinsip yang sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan interaksi pembelajaran kompetitif, antara lain yaitu:[5]
a.    Kompetitif harus antarindividu atau antarkelompok yang berkemampuan seimbang,
b.    Kompetitif hanya dilakukan untuk selingan yang menyenangkan, bukan kompetisi perjuangan hidup-mati.
Jika seorangguru ingin menciptakan suatukompetisi antarindividu maka individu yang saling berkompetisi harus sama-samamemiliki peluang  untuk kalah atau menang. Begitu pula jika kompetisi tersebut antarkelompok.
3.         Jenis-jenis belajar kompettif
Ada empat jenis interaksi kompetitif yang efektif untuk mecapai tujuan belajar, antara lain yaitu:[6]
a.    Kompetisi antarindividu atau antar anak yang berkemampuan seimbang
Suatu kompetisi menarik bagi anak jika anak satu dengan anak lain memiliki peluang untuk kalah dan menang secara sama atau seimbang . jika lawan terlalu lemah, anak tidak bersemangat untuk belajar dan jika lawan terlalu kuat anak bisa kalah sebelum bertanding.
b.    Kompetisi antarkelompok yang berkekuatan relatif sama atau seimbang
Prinsip kompetisi yangs ehat adalah adanya peluang untuk kalah dan memang sama antar kelompok berkekuatan seimabng, yang pada hakikatnya merupakan perpaduan antara suasan kooperatif dan kompetitif. Anak-anak haus salaing membantu dan mendorong antara sesamanya dalam kelompok agar dapat mengalahkan kelompok lain.
c.    Kompetisi dengan standar nilai minimum
Nilai minimum yang dimaksud adalah nilai 6. Anak yang memperoleh nilai 6 biasanya dinyatakan sebagai anak yang mencapai tingkat keberhasilan sedang atau tidak tinggi dan tidak rendah. Kompetisi ini mempersonifikasikan angka 6 sebagai lawan yang harus dikalahkan. Artinya semua anak harus mencapai angka minumin 6. Anak memeperoleh nilai 6 atau lebih dianggap menang. Oleh karena itu anak itu berhak mendapatkan hadiah.
d.   Kompetisi dengan diri sendiri
Dengan kompetisi ini membiasakan anak untuk emmiliki mental bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari pada hari ini. Untuk menciptakan prestasi semacam ini, guru hendaknya memiliki daftar nilai harian untuk mata pelajaran tertentu dari awal hingga akhir semester. Anak yang meraih nilai tinggi daripada nilai sebelumnya diberikan hadiah atau tanda bintang, berapapun nilai yang beerhasil mereka tingkatkan.

Kompetisi antarindividu atau antarkelompok yang berkemampuan seimbang sangat sulit dilaksanakan sesungguhnya tidak mungkin benar-benar terwujud. Kompetisi dengan standar nilai minimum didasarkan atas alasan bahwa untuk naik kelas anak harus mencapai prestasi minimum tertentu, misalnya skor rata-rata enam. Kompetisi dengan diri sendiri didasarkan atas semboyan “hari ini harus lebih baik dari pada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini”.

C.    Suasana Belajar Individualistik
Perlu diketahui bahwa teknik modifikasi perilaku (behavior modification) tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran yang bertolakbelakang dari pendekatan behavioral (behavioral approach) yang menerapkan suatuprinsip-prinsip operant conditioning.
1.         Ada empat karakteristik utama dalam pendekatan behavioral, antara lain:
a.         Terfokus dalam perilaku yang dapat diamati,
b.        Asesme yang cermat terhadap perilaku yang akan diubah atau dikembangkan,
c.         Evaluasi terhadap pengaruh program pengubahan perilaku, dan
d.        Menekankan pada perubahan perilaku sosial yang bermakna.
2.         Ada enam prinsip operant conditioning  yang mendasari strategi motifikasi perilaku, yaitu:
a.       Memberikan ulangan pengetahuan (Reinforcement)
Prinsip memberikan ulangan pengetahuan menunjukan pada suatu peningkatan frekuensi respons jika respons tersebut diikuti dengan konsepkuensi tertentu. Konsepkuensi yang mengikuti perilaku atau respons harus merupakan satu kesatuan dengan perilaku tersebut.konsepkuensi yang dapat meningkatkan frekuensi perilaku disebut reinforcer ada dua macam reinforcer,  yaitu  positive reinforcer  dan  negative reinforcer. Positive reinforcer adalah peristiwa yang muncul setelah suatu respons yang diharapkan. Negative reinforcer adalah peristiwa hilangnya suatu yang tidak menyenagkan setelah respons duharapkan ditampilkan.
Ulangan pengutan positif (positive reinfoncerment) menunjukan pada suatu peningkatan frekuensi dari suatu respons yang diikuti oleh peristiwa yang menyenangkan (positive reinforcer). Dalam kehidupan sehari-hari  positive reinforcer dibedakan dari  rewaid, jika peristiwa yang menyertai perilaku itu menyebabkan meningkatnya frekuensi perilaku yang diharapkan, maka peristiwa tersebut dinamai  positve reinforcer. Sebaliknya, suatu reward  belum tentu dapat meningkatkan frekuensi perilaku yang diharpkan. Dengan kata lain, positev reifoncer adalah  reward  yang dapat menngkatkan frekuensi perilaku yang diharapkan. 
Ada dua macam positive reinforcer, yaitu: (1) primary or unconditioned reinforcer dan (2) secondary or conditionedreinforcer. Contohdariprimary reinforcer  adalah makanan bagi orang yang lapar, sedangkan contoh dari secondary reinforcer adalah angka 100 bagi anak yang menyelesaikan tugas secara sempurna. Negative reinforcerment menuju pada peningkatan frekuensi respons melalui penyingkiran peristiwa yang tidak menyenangkan segera setelah respons yang diharapkan diperlihatkan. Suatu peristiwa dapat dikatakandengannegative reinforcer jika penghilangannya munculsetelah respons yang dikehendaki meningkatkan frekuensi penampilan darirespons tersebut. Contoh dari negative reinforcer adalah bunyinya tanda peringatan pada saat mobil berjalan melampaui batas kecepatan yang dapat membahayakan.
Ada dua macam  negative reinforcer, yaitu (1) primary negative reinforcer dan (2) sencondary negative reinforcer.  Contoh dari primary negative reinforcer adalah stimulus yang kuat seperti suara keras yang mengenai indra kita. Contoh dari sencondary negative reinforcer adalah ekspresi wajah yang tidak menyetujui atau ucapan kata “tidak”.
b.      Memberikan Hukuman (Punishment)
Prinsip punishment  adalah kehadiran suatu peristiwa yang tidak menyenangkan atau penghilangan peristiwa yang menyenangkan yang mengikuti suatu respons yang dapat menghilangkan atau mengurangi frekuensi respons tersebut. Ada beberapa perbedaan antara funishment dengan negative reinforcerment. Funishment ditunjukan untuk menghilangkan respons sedangkan negative (juga positive) reinforcerment ditunjukan untuk meningkatkan respons. Dalam funishment suatu keadaan yang tidak menyenangkan merupakan akibat yang mengikuti respons, sedangkan dalam negative reinforcement, keadaan yang tidak menyenangkan dihilangkan suatu respons yang diharapkan muncul.
c.       Menghapus (extinction)
Prinsip operant conditioning  lain yang penting adalah extinction adalah penghentian reinforcement  dari suatu respons. Prinsip ini didasarkan atas amsumsi bahwa non-reinforcement dari suatu respons dapat menurunkan atau menghilangkan respons tersebut. Ada perbedaan antara extinction dengan mengabaikan rengengkan anaknya. Seorang dokter mengabaikan keluhan fisik dari pasien hipokondria. Seorang guru mungkin mengabaikan siswa yang berbicara tanpa mengangkat tangan terlebih dahulu. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua atau guru sering mengabaikan prilaku anak yang baik (extinction)dan menegur perilaku yang tidak baik (reinforcement).
d.      Membentuk Dan Merangkaikan (Shaping And Chaining)
Prinsip operant conditioning berikutnya adalah Shaping And Chaining. Perilaku yang diharapkan mungkin terlalu kompleks sehingga anak tidak dapat melakukannya. Untuk menguasai perilaku semacam itu mungkin perlu dipecah-pecah terlebih dahulu menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dilakukan oleh orang setahap demi setahap. Dalam shaping, perilaku akhir yang diharapkan dicapai melalui pemberian rainforcement terdapat setiap langkah menuju renspon akhir.
e.       Menganjurkan dan memudarkan (Promting and Fading)
Pengembangan perilaku sering dipermudah oleh penggunaan isyarat (Cues), perintah (Intruction), gerak-isyarat (Gesture), pengarahan (Direction), pemberian contoh (examples), dan model untuk memulai suatu respon. Suatu peristiwa yang membantu anak melakukan suatu respons disebut prompts.Prompts mendahului suatu respons. Jika prompts menghasilkan repons, respons tersebut dapat diikuti dengan reinforcement.
f.       Deskriminasi dan kontrolrangsangan (Distrimination and Stimuluscontrol)
Operant Behafior dipengaruhi oleh konsekunsi yang mengikuti perilaku. Bagaimanapun juga, peristiwa yang mendahului juga mengontrol perilaku. Macam-macam prompt seperti intruction, physical guidence, models, dan verbal cues, merupakan peristiwa yang dapat mengontrol perilaku. Tetapi, stimulus yang mendahului tersebut merupakan kontrol yang memaksa dalam munculnya perilaku.
Stimulus kontrol juga merupakan fakta dalam seleksi dan konsumsi maaknan. Contohnya, buah masak misalnya apel merah. Dikaitkan dengan rasa manis, sedangkan apel hijau (buah warna yang berwarna hijau umumnya belum masak) dikaitkan dengan rasa asam. Rasa manis dari buah masak memperkuat seleksi dan konsumsi apel merah. Warna buaha dalah stimulus yang mengontrol kemungkinan yang akan datang untuk memakan buah tersebut.
g.      Generalisai (Generalizaton)
Stimulus generalization, menunjuk pada generalisasi atau transfe dari suatu respon pada situasi-situasi lain di luar tempat latihan. Generalization merupakan lawan dari Discrimination. Derajat dari stimulus generalization merupakan suatu fungsi dari kesamaan stimulus atau situasi baru dengan stimulus yang berkaitan dengan respon yang dilatihkan. [7]






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendidikan yang menekankan pada interaksi koopertatif adalah pendidikan yang secara bersungguh-sungguh berupaya mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang menekankan pada suasan belajar kooperatif pada hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan back to basic, kembali keakar budaya bangsa kita sendiri. Interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog tidak hanya dengan guru tetapi juga sesama mereka
 Sedangkan Alasan utama seorang guru memilih suasana kompetitif umumnya untuk membangkitkan motivasi belajar. Alasan tersebut tidak keliru karena manusia pada hakikatnya memiliki needs for achievenemt dan need for poweryang biasanya dapat dipenuhi melalui kompetisi. Tetapi, guru sering juga bahwa kompetisi antar individu atau antarkelompok yang tidak seimbang dapat menimbulkan keputusasaan bagi yang lemah dan menimbulkan kebosanan bagi yang kuat
Teknik modifikasi perilaku (behavior modification) tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok.



[1] Mulyono Abdurrahman, “Anak Bekesulitan Belajar (Teori, Diagnosis, dan Remediasinya)”(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), hal. 87-97.
[2]Kiromim Baroroh, “Efektifitas Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Efektifitas Dan Presasi Belajar Mahasiswa”, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), 2009), Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Volume 6 Nomer 2, hal. 135-136.
[3]Mulyono Abdurrahman, “ Anak Berkesulitan Belajar (Teori,Diagnosis, Dan Remediasinya)”,hal.97.
[4]Laili S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, (Yogyakarta: Familia, 2013), hal. 77.
[5]Mulyono Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar (Teori, Diagnosis, dan Remediasinya), hal.97.
[6]Laili S. Cahya, “Adakah ABK Dikelasku?”, hal. 79-82.
[7]Mulyono Abdurrahman, “Anak Berkesulitan Belajar (Teori, Diagnosis, dan Remediasinya),Hal.98-104

No comments:

Post a Comment